rss

Selasa, 08 Februari 2011

Cacingan Mengintai Si Kecil

Gizi Stik Tamalatea -Dilihat sepintas, Iman, 8 tahun, siswa kelas II Sekolah Dasar Al-Ikhlas, Cipete, Jakarta Selatan, tampak sehat. Namun, ketika di kelas, dia tampak tidak bergairah dan tak bersemangat mengikuti pelajaran. Daya ingatnya menurun, dan tidak bisa belajar dengan baik. "Ketika diperiksa, ternyata Iman mengidap cacingan. Penyakit ini serius dan mengintai anak-anak," kata Prof dr Saleha Sungkar, dari Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada acara Program Edukasi Bahaya Cacingan di Sekolah dan Hari Waspada Cacing Nasional 2011.

Saleha menjelaskan, cacingan adalah gangguan kesehatan akibat adanya cacing parasit di dalam tubuh. Penyebab cacingan yang populer adalah cacing pita, cacing kremi, dan cacing tambang. Biasanya, cacing bisa dengan mudah menular. Karena anak-anak sering bermain di tanah, cacingan banyak mengintai murid SD. Hasil survei pada 2003 pada 40 sekolah dasar di sepuluh provinsi menunjukkan prevalensi cacingan 2,2-96,3 persen. "Kondisi ini bisa jadi terus bertambah pada tahun berikutnya. Ini menunjukkan masih ada area yang memiliki prevalensi cacingan yang cukup tinggi. Sepintas sepele, namun ini masalah serius," dia memaparkan.

Cacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini menyebabkan anak menjadi kurang gizi (malnutrisi), anemia, IQ menurun, lemas tak bergairah, mengantuk, malas beraktivitas, serta berat badan rendah.

Menurut Saleha, gejala penyakit cacingan pun akan sulit dideteksi jika jumlah cacing yang bersarang dalam tubuh masih sedikit. "Penyakit cacingan memang masih sulit didiagnosis dokter jika jumlah cacingnya sedikit. Biasanya gejala akan timbul jika sudah banyak larva cacing yang bersarang dalam tubuh." Cara masuknya cacing ke dalam tubuh pun beraneka ragam. Cacing gelang (Ascaris lumbricoides), yang bersarang dalam tubuh dengan jumlah telur infektif 100-200 ribu per hari, biasanya masuk melalui makanan.

Cacing cambuk (Trichuris trichiura)--telur infektif yang ada di dalam tubuh sebanyak 3.000-5.000 dalam waktu 3-6 minggu--biasanya juga masuk lewat makanan. Telur cacing cambuk yang infektif bisanya berjumlah 9.000-10.000 dalam waktu tiga hari. "Berkembangnya penyakit ini juga dipengaruhi banyak faktor, mulai faktor iklim tropis, kebersihan tubuh, sanitasi lingkungan, sosial-ekonomi, hingga kepadatan penduduk," katanya.

Sementara itu, telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) biasanya bisa berkembang dalam tubuh lewat makanan dan kulit.

Saleha menuturkan, ancaman penyakit cacingan pada generasi penerus perlu ditangani dengan serius. Dia mengutip penjelasan Bank Dunia bahwa cacingan menurunkan kualitas sumber daya manusia, terutama pada negara berkembang. Karena itu, pengendalian cacing merupakan strategi yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada negara berkembang. "Soal pengendalian cacing, dimulai melalui pengetahuan masyarakat tentang cacing, cara penularan, gejala, dan pengobatannya. Selain itu, sanitasi lingkungan dan pengobatan massal memegang peran penting untuk memutus daur hidup cacing."

Dijelaskan Saleha, prevalensi cacing gelang dan cacing cambuk lebih dari 70 persen ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Jakarta. Pada anak SD, prevalensinya sebesar 60 persen. Sementara itu, di daerah kumuh di Jakarta, infeksi cacingan sudah ditemukan pada bayi berusia kurang dari setahun.

Saleha menerangkan, penyebab jumlah pasien cacingan yang tinggi di suatu daerah terjadi adalah apabila warga buang air besar di saluran air (got) dan halaman sekitar rumah, makan tanpa mencuci tangan, serta anak-anak bermain di tanah. Pada daerah kumuh, banyak orang buang air besar di kali atau di kebun. Jika feses orang tersebut mengandung telur cacing, kali dan kebun akan tercemar. "Bila air kali digunakan untuk menyiram kebun, sayuran akan tercemar oleh telur cacing, dan jika sayuran tersebut dimakan mentah, telur yang menempel di sayuran akan tertelan."

Sementara itu, cacing gelang tidak menimbulkan kelainan, kecuali pada infeksi berat. Sejumlah cacing yang menutupi mukosa usus halus akan menghambat penyerapan zat gizi dan vitamin A, sehingga mempermudah terjadinya rabun senja dan kebutaan pada anak. Cacing gelang meningkatkan gerakan usus dan menimbulkan diare. Pada infeksi berat, cacing gelang dapat berimigrasi ke organ lain yang menyebabkan sumbatan usus, yang bisa berakhir dengan kematian.

Menurut Rully Prasetyanto, Brand Manager Combantrin PT Johnson&Johnson Indonesia, pengobatan cacingan dilakukan berdasarkan diagnosis. Misalkan pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing, maka pasien bisa diobati dengan obat anticacing. Dia menggarisbawahi tentang pentingnya melakukan kegiatan edukasi dan sosialisasi cacingan, pengobatan, serta pemberantasannya. "Supaya si kecil terbebas dari cacingan yang mengintai," kata dia.

Rully menjelaskan, perilaku hidup sehat merupakan cara terbaik menghindari cacingan. Karena cacing kebanyakan hidup di tanah, hindari pula si kecil bermain tanah. Sebab, bisa saja cacing masuk melalui kuku anak. "Sangat penting memperhatikan kebersihan dan memotong kuku anak secara teratur. Lalu periksa ke dokter atau minum obat cacing secara rutin," ujarnya.
| HADRIANI P

Tanda-tanda Anak Cacingan

1. Lesu dan lemas akibat kurang darah (anemia).
Disebabkan oleh cacing tambang, sehingga membuat tubuh menjadi lemas kekurangan darah karena dihisap cacing.
2. Berat badan rendah karena kekurangan gizi.
Nutrisi yang seharusnya diserap oleh tubuh juga menjadi makanan bagi cacing.
3. Batuk tak sembuh-sembuh.
Ada juga cacing yang dapat hidup di paru-paru, sehingga menyebabkan batuk yang tak sembuh-sembuh.
4. Nyeri di perut.
Cacingan juga dapat menimbulkan sakit perut yang dapat menyebabkan diare

0 komentar:


Posting Komentar